Wahai Pemuda! Hancur atau Jayanya Dunia Maritim Indonesia, Semua itu Bergantung di Kedua Tanganmu!

Saya membuat tulisan ini untuk mengikuti kompetisi Maritime Essay Competition (MEC) 2013 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan ITS.

Wahai Pemuda! Hancur atau Jayanya Dunia Maritim Indonesia, Semua itu Bergentung di Kedua Tanganmu!

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudra

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang

Ombak berdebur di tepi pantai

Pemuda b’rani bangkit sekarang

Ke laut kita beramai-ramai

Masih ingat dengan lagu di atas? Atau belum pernah mendengar lagunya? Itu merupakan lagu yang sering kita nyanyikan sewaktu di Taman Kanak-kanak atau pun Sekolah Dasar dulu. Apakah benar nenek moyang kita adalah seorang pelaut? Atau seorang petani? Apakah kita tahu pada tanggal 21 Agustus kita memperingati hari besar yang sangat berarti buat bangsa kita? Hari apakah itu? Yang jelas bukan hari kasih sayang atau pun hari kemerdekaan Indonesia tentunya. Pada setiap 21 Agustus kita memperingati hari maritim nasional. Namun sayangnya, hari maritim hanya diketahui segelintir orang saja. Memang, fenomenal hari maritim nasional seperti dikalahkan dengan hari kemerdekaan Indonesia.

Pada era perang kemerdekaan, empat hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, angkatan laut Republik Indonesia ketika itu berhasil mengalahkan tentara laut Jepang yang sudah menggunakan teknologi canggih. Mereka berhasil diusir dengan peralatan perang seadanya. Dengan peristiwa itu pemerintah menetapkan tanggal 21 Agustus sebagai hari maritim nasional.

Di samping Itu, sejarah sudah membuktikan bahwa nusantara atau Indonesia sangat disegani bangsa lain karena bukan hanya kekayaan dunia bawah lautnya, tapi juga kekuatan maritimnya. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan dan agama di wilayah Asia. Namun, seiring dengan hadirnya Belanda sebagai penjajah pada abad ke-18, pamor nusantara sebagai negara maritim mulai pudar. Belanda melarang kerajaan-kerajaan untuk berdagang melalui laut dengan pihak lain. Belanda lebih mementingkan kegiatan agraris berupa perkebunan atau bercocok tanam, demi kepentingan mereka yang membutuhkan produk seperti rempah-rempah, teh, kopi, dan lain-lain.

Namun, dengan semangat kemaritiman yang masih melekat erat di DNA pada sejumlah orang Indonesia, akhirnya Indonesia tetap mampu mempertahankan kekuatan maritimnya sehingga dikenal dengan negara kepulauan. Meski pun, sektor kelautan diposisikan sebagai anak tiri dalam pembangunan ekonomi nasional dalam tiga dasawarsa terakhir.

Status negara kepulauan di dapat dengan perjalanan sejarah yang panjang. Diawali dengan Deklarasi Djuanda 1957 yang diakui sebagai kebijakan kelautan Indonesia yang pertama, Indonesia merasa kebijakan kelautan warisan kolonial sudah tidak sesuai lagi dengan konsep Tanah Air yang menekankan keterpaduan tanah dan air sebagai kekuatan nasional bangsa Indonesia. Butuh waktu dua puluh lima tahun untuk Indonesia dalam mendapat pengakuan dunia internasional sebagai negara kepulauan, yang kemudian dicantumkan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982. Sejak lahirnya KHL 1982, masyarakat internasional semakin menyadari pentingnya laut bagi kehidupan umat manusia. Namun, bagaimanakah dengan masyarakat Indonesia sendiri?

Tujuh puluh lima persen wilayah Indonesia adalah lautan. Panjang garis pantainya 80.791 km yang membentang sepanjang ekuator dan memiliki jumlah pulau lebih dari 17.000 menyimpan potensi sumber daya kelautan yang melimpah dan mempunyai arti strategis bagi pembangunan ekonomi nasional berbasis kelautan. Sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS 1982, Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat kaya akan keindahan dan kelimpahan sumber daya alam dunia bawah lautnya.

Kemudian kita bertanya-tanya, apakah rakyat Indonesia sejahtera dengan benar-benar memanfaatkan anugerah Tuhan tersebut? Saya rasa belum. Berbeda dengan negara lain yang pernah saya kunjungi seperti Amerika dan Singapura. Kehidupan daratan di tepi laut merupakan peradaban yang mewah dan elit. Banyak infrastuktur dan pusat-pusat perekonomian hidup di daerah pesisir. Banyak gedung-gedung tinggi, tempat wisata yang bersih nan indah, pelabuhan yang disibukkan dengan ratusan kapal yang lalu-lalang tiap harinya. Namun tidak di Indonesia. Masyarakat pesisir dikenal hampir sama dengan masyarakat kumuh. Peradaban elit dan perkotaan terletak di pusat daratan. Masyarakat pesisir sebagian besar miskin dikelilingi oleh nelayan-nelayan tua dan para pemuda yang enggan “terjun” ke lautan.

Sumbangan perikanan kita untuk Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 15 persen. Bandingkan dengan Korea Selatan yang lebih sempit lautnya, mereka mampu menyumbang hingga 54 persen bagi PDB mereka. Indonesia kehilangan potensi ke lautan dan perikanan sejumlah Rp 40 triliun per tahunnya.

Di laut kita dapat menghasilkan ratusan triliun devisa dengan berbagai potensi energi terbarukan, masa habis 2 abad berupa gas hidrat dan gas biogenik serta energi-energi kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal seperti pembangkit listrik tenaga gelombang laut. Potensi sumber daya hayati laut yaitu lebih dari 2.000 spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang atau sekitar 17,95 persen di dunia, 850 jenis sponge, padang lamun dan kimia terbanyak di dunia serta hutan mangrove menyimpan potensi 6,5 juta ton ikan, dapat dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan di hamparan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Tidak seperti Indonesia, negeri Jiran, Malaysia, banyak memanfaatkan potensi kelautan RI dengan meningkatkan penguasaan teknologi penangkapan perikanan sehingga Indonesia mengalami kerugian mencapai 100 milyar rupiah per tahun.

Sudah saatnya kejayaan maritim Indonesia harus dikembalikan. Cukup sudah kita kehilangan beberapa pulau terluar yang di klaim oleh negara tetangga seperti Pulau Sipadan dan Ligitan. Dan akhirnya pulau tersebut oleh ditetapkan menjadi milik Malaysia oleh Mahkamah Internasional dengan alasan ditelantarkan. Hal ini tidak terlepas dari lengahnya pengawasan maritim di wilayah nusantara. Jangan sampai hal tersebut terjadi juga di Pulau Sangihe Talaud yang berbatasan dengan Philipina. Demikian juga dengan Pulau Sebatik yang masih diperebutkan dengan Timor Timur. Dan pulau-pulau lainnya yang berada di wilayah luar Indonesia harus tetap dijaga dan dipertahankan. Tentunya dengan kekuatan armada laut yang handal.

Negara ini sudah ditakdirkan menjadi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Seharusnya bangsa ini dibangun dengan menggunakan strategi maritim. Jika potensi maritim dioptimalkan, maka Negara Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, salah satu masalah dasar pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan adalah masih rendahnya sumber daya manusia di bidang kelautan dan perikanan. Pola pikir masyarakat tentang lautan seperti mimpi buruk. Mindset yang mengatakan bahwa bekerja di sektor maritim tidak akan sesukses di sektor daratan rupanya telah melekat kuat pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Tentu ada yang salah dengan pendidikan bahari di Indonesia.

Semua hanya terletak pada sudut pandang rakyat Indonesia pada dunia kemaritiman bangsa.

Tantangan terbesar saat ini ialah upaya apa yang harus dilakukan untuk membangkitkan semangat bahari bangsa Indonesia yang kini mulai pudar? Itu sulit untuk dijawab dalam waktu singkat. Menumbuhkembangkan semangat dan jati diri tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, hal itu pasti bisa. Percayalah pada saya dan teman-teman mahasiswa seluruh Indonesia, terutama yang concern pada sektor kemaritiman. Memang semua butuh waktu, tapi secara perlahan, kita pasti bisa membuktikan kembali slogan “Jalesveva Jayamahe” yang artinya adalah “di lautan kita jaya.” Seperti Indonesia, Korea, yang sama-sama mengalami krisis moneter pada tahun 1997, mampu bangkit dan menjadi sepuluh negara terkaya di dunia. Salah satunya berkat canggihnya teknologi kemaritiman yang mereka gunakan serta eksploitasi sumber daya laut yang terarah. Indonesia yang masih tertidur di antara lautan emas seharusnya bangkit dan berkarya sebelum semuanya terlambat.

Untuk mencapai impian kita bersama, yaitu menjadi negara maju yang sejahtera, semua tidak lepas dari pendidikan. Kurikulum bangsa tentang pentingnya bahari Indonesia perlu dibenahi. Semua pihak harus menyadari Indonesia adalah negara kepulauan.  Pemerintah juga seharusnya menjadi regulator dan fasilitator yang baik dengan cara mengoptimalkan potensi kelautan dan perikanan Bumi Pertiwi. Bagaimana dengan para mahasiswa? Sebagai agent of change, mahasiswa harus bisa menjadi ujung tombak bangkitnya semangat maritim Indonesia.

Lantas, apa yang harus saya lakukan sebagai mahasiswa?

Mungkin itu menjadi pertanyaan di sebagian benak para mahasiswa. Jika saya menjadi anda, banyak hal yang bisa saya lakukan apalagi jika bersama-sama dengan mahasiswa lainnya. Diantaranya berperan aktif dalam mengangkat isu-isu kemaritiman terkini. Belajar dan beinovasi juga merupakan salah satu langkahnya. Siapa tahu, kelak, dengan gagasan atau teknologi hasil karya anak bangsa, terlepas dari apakah dia mahasiswa Fakultas Kelautan atau bukan, atau kah dia mahasiswa kedokteran sekali pun, mereka bisa membantu kemajuan kemaritiman bangsa Indonesia.

No matter how you gifted, you alone cannot change the world. Kita tak bisa sendirian untuk mengubah bangsa Ini. Bahkan, Pak B. J. Habibie butuh partner untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Begitu juga dengan kita. Bersama-sama dengan mahasiswa lain, kita dapat melakukan langkah besar yang lebih efektif. Seperti aktif di kegiatan Perhimpunan Mahasiswa Teknologi Kemaritiman Indonesia (PERHIMATEKMI). Kita juga bisa membuat komunitas sendiri atau memanfaatkan komunitas yang sudah ada, contohnya himpunan mahasiswa, untuk mengadakan kegiatan yang edukatif terhadap kelautan nasional. Misalnya pemeliharaan terumbu karang, bakti sosial mangrove, edukasi masyarakat nelayan, ikut menjaga kebersihan pantai, aktif mengontrol regulasi kelautan, dan banyak hal lainnya. Saya pikir, akan banyak ide-ide yang lebih brilian lagi untuk membangkitkan semangat bahari bangsa, salah satunya adalah terselenggaranya lomba menulis essay ini oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan ITS. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan ini.

Tak terasa, sebentar lagi Indonesia akan bertemu dengan 2045, satu abad kemerdekaan Indonesia. Apakah pada tahun itu keadaan kemaritiman bangsa masih sama seperti sekarang, lebih baik, atau pun menjadi lebih buruk? Semua itu bergantung pada pemuda masa kini yang kelak akan menentukan nasib bangsa kita. Jika semngat dan mindset yang baik tentang kemaritiman bangsa, dan adanya tekad yang kuat, saya yakin, Indonesia melalui momentum hari kemaritiman pada 21 Agustus yang lalu bisa bertransformasi menjadi negara kepulauan sejati. Sudah saatnya kejayaan emas nenek moyang pada masa dahulu terulang kembali dan menjadi lebih baik. Namun, pertanyaan terakhir saya, apakah nenek moyang kita benar-benar seorang pelaut? Hanya kalian lah yang mampu menjawabnya.

Referensi :

Kompas. 2008. Peran pemuda masih rendah. Dilihat pada 10 September 2013 pada laman http://nasional.kompas.com/read/2008/04/26/0012415.

Rmol. 2012. Hari Maritim Momentum Kembalinya Kesadaran Maritime Base Oriented dilihat pada 11 September 2013 pada http://www.rmol.co/read/2012/08/22/75495/Hari-Maritim-Momentum-Kembalinya-Kesadaran-Maritime-Base-Oriented-

Antara News. 2012. KKP Dorong Pemuda Berperan Aktif dalam Percepatan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. Dilihat pada 11 September 2013 pada http://www.antaranews.com/berita/347598/kkp-dorong-pemuda-berperan-aktif-dalam-percepatan-industrialisasi-kelautan-dan-perikanan

Leave a comment